Rembulan masih terlihat perkasa di ufuk timur, memancarkan semangat bagi setiap insan yang akan mencari petualangan hidup di kota Kembang. Beberapa menit yang lalu sebuah mobil L-300 berhenti di sebelah utara masjid tak berkubah itu. Pintu mobil terbuka, aku melangkah dengan badan yang masih lunglai. Maklum, dua belas jam perjalanan harus melewati jalan tol, pegunungan, dan hutan. Dinginnya udara pagi di subuh itu tidak menyurutkan niatku untuk menuntut ilmu di Kampus Ganesha.
“Allaahu Akbar! Allaahu Akbar!”
“Allaahu Akbar! Allaahu Akbar!”
“Asyhadu an la Ilaaha illallaah!”
“Asyhadu an la Ilaaha illallaah!”
Badan ini masih terasa malas untuk diajak shalat subuh. Bayangkan saja, selama hidupku aku tidak pernah shalat subuh di masjid kecuali hanya waktu Ramadhan saja. Mungkin akan jauh lebih baik di masjid ini daripada di luar harus menahan dinginnya udara pagi. Akhirnya, kupaksa juga diri ini untuk mengambil air wudhu dan segera masuk ke dalam masjid. Cukup aneh memang masjid itu. Tidak seperti biasanya, masjid ini berbentuk kubus. Lantainya juga terbuat dari kayu, alhasil walaupun cuaca dingin, di dalam masjid tetap terasa hangat.
Aku merasakan sesuatu yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya. Pagi-pagi buta shalat di masjid. Walaupun memang dulu aku pernah shalat subuh di masjid pada bulan Ramadhan, tapi suasananya ketika itu kayaknya biasa aja. Sedangkan sekarang berbeda. Kuamati para pemuda sebanyak 2 shaff shalat dengan khusyuknya.
Aku terduduk di koridor sebelah selatan masjid menuju jalan keluar. Pikiranku melamun, terbang menuju kampung halaman. Kini aku sendirian di kota yang dulunya dikenal sebagai Kota Kembang. Tak ada teman ataupun saudara yang menyertaiku. Sesekali aku bertanya dalam hati, mengapa aku nekad untuk melanjutkan kuliah di sini? Padahal di Surabaya kan juga ada institut yang sejenis dan tidak kalah favorit. Belum lima menit aku merenung, tiba-tiba ada seorang pemuda yang menyapaku.
“Assalaamu’alaykum!” sapa seorang pemuda tersebut.
“Wa’alaykumussalaam!” jawabku dengan nada pelan dan agak takut.
“Mahasiswa baru ya dik? Dari mana?” tanyanya dengan sangat sopan.
“Ya mas. Saya dari Surabaya,” jawabku secukupnya.
“O…gitu. Wah, jauh dong. Kenalin saya Arif dari Jakarta. Ngomong-ngomong ngambil jurusan apa dik?” katanya sembari menawarkan berjabat tangan.
“Saya Yono. Saya ngambil jurusan Teknik Kimia kak,” jawabku dengan pikiran yang belum bisa bersahabat.
“Oiya! Wah, ternyata kita sama jurusan dik. Saya ngambil jurusan Teknik Kimia juga, angkatan 2008. Selamat ya! Jangan disia-siain kuliah di ITB apalagi jurusan Teknik Kimia. Oiya, saya tinggal di Asrama Salman. Tuh gedungnya. Kalau mau main, naik aja ke lantai 4. Saya duluan ya karena ada acara rutin tiap pagi di asrama. Assalaamu’alaykum!” katanya sembari menjabat tangan saya.
“Wa’alaykumussalaam!” jawabku dengan nada datar. “Emm…ternyata ramah juga ya si kakak tadi. Mudah-mudahan suatu saat nanti bisa bertemu lagi dengannya.”
***
Sebulan sudah aku mengalami kegiatan perkuliahan di kampus. Selain kuliah, tidak ada aktivitas lain yang aku jalani di kampus. Mungkin aktivitas sehari-hariku hanya kuliah kostan, kuliah kostan. Waktu luang lebih banyak aku gunakan untuk main game, baca komik ‘Captain Tsubasa’, atau baca-baca artikel tentang wanita, dan terkadang ngobrolin tentang cewek dengan teman-teman tetangga kost.
Pergaulan di kostan ternyata sangat mempengaruhi pola pikirku. Dengan teman-temanku aku sering ngobrol ngalor-ngidul tak terkecuali tentang wanita. Apalagi semua teman di kostanku sudah punya pacar semua. Bahkan ada seorang teman yang sampai punya tiga pacar sekaligus. Satu di kampung halaman, satu anak SMA, dan satu lagi di kampus. Kadang aku berpikir kok sampai segitunya ya, punya pacar tiga. Apa gak kasihan ceweknya dibohongin kayak gitu. Dan alasan dia pun sederhana saja. Sebenarnya pacar yang sesungguhnya mah di kampung halaman, kalau yang di sini mah hanya buat refreshing aja, menghilangkan stress karena beban kuliah yang berat katanya. Gak punya perasaan tuh emang orang, gumamku dalam hati.
Aku sendiri belum pernah mengalami apa yang namanya pacaran. Bukan karena aku tidak tertarik dengan makhluk yang diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam ini. Tetapi aku merasa dengan pacaran justru akan menyita waktu belajarku. Dan memang terbukti dengan semangat belajarku saat itu, aku berhasil mendapatkan medali perak Olimpiade Sains Nasional Bidang Kimia di Riau, Pekanbaru.
Akan tetapi, aku juga seorang laki-laki biasa yang bisa tertarik dengan kaum hawa. Apalagi pemuda seusiaku, dorongan terhadap lawan jenis sedang sangat tinggi-tingginya. Aku pun berpikir tidak ada salahnya kan kalau pacaran. Toh nanti juga akan menikah. Sebelum menikah kan tentu harus saling kenal dulu. Yah, pacaran selama 3 tahun di kampus juga kan gak apa-apa. Habis kuliah dan dapet kerja nanti baru menikah.
Aktivitasku tersebut mulai berubah setelah kegiatan di Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia (HIMATEK) dimulai. Entah kenapa setelah mendapat titel mahasiswa aku mulai berani untuk beraktualisasi diri, mencari tahu segala sesuatu. Dulu ketika SMA, aktivitasku hanya belajar dan belajar. Aku merasa bosan dengan aktivitasku tersebut. Akhirnya aku putuskan untuk ikut beberapa organisasi khususnya di HIMATEK. Dan kegiatan kaderisasi yang dinamakan Pengenalan Dunia Teknik Kimia (PDTK) pun dimulai.
“Woiey! Jangan Jongkok! Jangan Jongkok!” teriak beberapa orang laki-laki yang berjaket hitam dengan slayer di tangan kanannya.
Langsung saja beberapa orang temanku berjalan jongkok. Aku kebingungan sendiri kenapa mereka jalan jongkok, kan disuruhnya jangan jongkok. Ternyata teman-temanku mendengarnya jalan jongkok bukan jangan jongkok. Aku pun akhirnya ikut jalan jongkok juga. Secara semua orang selain aku jalan jongkok, walaupun aku tahu itu tindakan yang salah.
“Woiey kalian yang jalan jongkok! Siapa suruh kalian jalan jongkok?” tanya seorang laki-laki bertubuh gempal hitam.
“Kan kakak nyuruh kami jalan jongkok!?!” jawab seorang temanku dengan agak bingung.
“Siapa suruh kalian jalan jongkok! Kami suruh kalian jangan jongkok tapi kalian malah jongkok. Berdiri semua! Cepat-cepat, jalan!” jawab laki-laki berbadan gempal hitam tadi.
Sialan tuh orang, ngerjain ternyata. Gumamku dengan ketawa yang tertahan di dalam mulut. Maklum suasana osjur memang dibuat tegang sehingga walaupun ada kejadian konyol kami tidak boleh ketawa sedikitpun.
Akhirnya kegiatan PDTK pertama diisi dengan dengan mentoring umum bersama kakak mentor. Kali ini suasana agak nyantai. Dan surprisenya yang menjadi mentorku adalah mas Arif, kakak tingkat yang pertama kali menyapaku di Kota Kembang ini. Walaupun tinggal di kota Jakarta dengan persaingan kehidupan yang keras, dia tetap ramah dan mau menyapa adik-adik tingkatnya tak terkecuali aku. Ada rona keikhlasan ingin melayani yang terpancar dari wajahnya. Rona yang menunjukkan seolah-olah beliau mencintai kami seperti layaknya adik kandung sendiri.
Dalam mentoring tersebut, aku mendapatkan banyak informasi tentang jurusan teknik kimia dan subjurusan yang terdapat di dalamnya. Kegiatan-kegiatan atau organisasi yang dilakukan oleh mahasiswa Teknik Kimia. Tentang kesan awal dan harapan tentang kegiatan PDTK. Kak Arif juga berbagi ilmu tentang bagaimana mahasiswa saat ini harus berperan dalam membangun bangsa. Dia juga menjabarkan secara jelas tentang peran mahasiswa sebagai agent of change, iron stock, dan guardian of value. Dia juga berbagi pengalaman yang dirasakan selama kuliah di ITB dan juga alasan-alasan mengapa dia memilih jurusan Teknik Kimia.
Akhirnya sampai juga di akhir agenda mentoring yaitu sesi diskusi. Para mentee dipersilakan untuk bertanya atau menyampaikan segala unek-unek tentang kuliah atau apapun. Sebenarnya, aku dari awal sangat serius mendengar segala nasihatnya. Akhirnya kuberanikan bertanya padanya.
“Gini kak, sebenarnya gimana sih supaya kita bisa baik dalam memanajemen waktu ketika beraktivitas di kuliah, organisasi, ataupun ketika pacaran?” tanyaku dengan agak polos tapi berani.
“Oiya, di sini ada yang non-muslim gak?” tanyanya
Ternyata tak satupun dari kami yang mengangguk.
“Sebenarnya Islam pun mengatur bagaimana caranya pacaran. Dan Islam sendiri membolehkan pacaran lho,” katanya
Penjelasan tersebut membuatku kaget bukan main. Hah, bagaimana caranya ‘pacaran’ dengan baik. Yang benar tuh? Selama ini yang aku tau dari teman-temanku SMA yang aktif di rohis, pacaran itu dilarang sama Islam. Ini mas Arif malah bilang Islam itu mengatur bagaimanan caranya pacaran. Pernyataan yang sangat menyengat adalah ketika dia mengatakan bahwa Islam itu membolehkan ‘pacaran’.
“2010! Aku ingin kalian berkumpul di depanku. Dalam hitungan 10, kalian sudah harus ada di depanku. 10…9…8…7…6…5…4…3…2…1! 2010!” teriak sang danlap
“HIMATEK!” jawab kami
“Aaku beelum mendengar kekompakan kalian. Kalian adalah satu jiwa, kalian adalah satu kesatuan, kalian adalah pembaharu, pembaharu harus bersatu. 2010!” teriak sang danlap dengan ucapan yang terpotong antarkatanya.
“HIMATEK!” jawab kami
“HIMATEK!” balas sang danlap
“CH…CH…CHE!” jawab kami
“Aplaus buat kalian,” balas sang danlap.
Yah, sial. Padahal bahasan mentoringnya sedang menarik. Ternyata panitia sudah memanggil kami lagi. Pernyataan tersebut membuatku terus bertanya-tanya. Kata-kata kak Arif tadi seolah-olah membuatku semakin bersemangat bahwa memang saya harus pacaran selama menjadi mahasiswa. Karena teriakan danlap tadi, secepat kilat kumasukkan buku dan pulpen ke dalam tas, termasuk juga makanan dan minuman yang tadi aku keluarkan.
***
Kegiatan PDTK pun telah memasuki bulan kedua. Setiap akhir pekan tepatnya hari Sabtu, aku harus bangun pagi-pagi sekali karena tepat pukul 06.00 WIB kami sudah harus berada di depan sekretaria HIMATEK untuk mengikuti kegiatan PDTK. Jum’at malam, aku harus bergerilya ke kostan teman untuk meminjam mesin ketik manual untuk mengerjakan tugas-tugas resume, wawancara kakak NIM (nomor induk mahasiswa), wawancara ketua HIMATEK, kesan, pesan, dan masukan setiap pekan ketika mengikuti kegiatan PDTK.
Sayangnya, agenda yang aku tunggu yaitu mentoring tidak pernah diadakan lagi entah aku gak tahu apa sebabnya. Hingga kini, pertanyaan-pertanyaan masih berkelumit di kepalaku terkait pernyataan kak Arif dua bulan yang lalu. Pernyataan yang membuatku jadi semakin semakin bersemangat untuk pacaran tetapi juga menimbulkan tanda tanya mengapa pikirannya berbeda dengan pikiran teman-temannya yang aktif di lembaga keislaman seperti Rohis.
Suatu hari ketika kuliah sedang berlangsung, sebuah selebaran diputarkan dari depan menuju belakang. Ternyata selebaran itu berisi publikasi kegiatan Islamic Study Club (ISC) yang dilenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Islam (GAMAIS) bekerja sama dengan Keluarga Mahasiswa Islam Teknik Kimia (GAMISTEK). Awalnya aku berpikir mungkin sama saja dengan mentoring sewaktu kegiatan PDTK. Karena pada awalnya aku sudah jatuh hati dengan kegiatan serupa yang sebelumnya telah aku ikuti, akhirnya aku putuskan untuk ikut mentoring ISC GAMISTEK. Kucatatkan nama dan no HP di daftar peserta mentoring tersebut.
Selang sepekan kemudian ada SMS masuk ke nomor HP-ku mengabarkan tentang kegiatan mentoring ISC yang akan segera diselenggarakan.
“Teruntuk adik-adikku yang saya sayangi karena Allah. Assalaamu’alaykum,, mengharapkan kehadiran kalian dalam pertemuan perdana mentoring ISC kelompok kita, Jum’at (12/11) jam 15.30 WIB di koridor selatan Masjid Salman.Trims.-Arif-” message sent by +6285724422094
Kata-kata awal yang sulit aku mengerti, ‘saya sayangi karena Allah’. Masak sih sayang karena Allah, apa-apaan ini. Aku agak cuek sejenak. Tapi kayaknya kata-katanya menarik juga. Apalagi yang akan jadi mentornya adalah kak Arif. Wah kayaknya seru ni, aku bisa bertanya mengenai pernyataannya dua bulan yang lalu.
***
Selepas shalat ashar di kostan, kulangkahkan kakiku ke masjid Salman yang hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Dan ternyata di koridor selatan telah menunggu kak Arif dengan seorang teman seangkatanku.
“Assalaamu’alaykum!” tegurku kepada mereka berdua.
“Wa’alaykumussalaam warahmatullaah!” jawab kak Arif dengan ucapan yang lebih lengkap.
“Wah, akhirnya kita ketemu lagi kak setelah hampir dua bulan gak ketemu,” tegurku.
“Ya. Alhamdulillah, gimana kabar dik Yono?” tanya kak Arif.
“Alhamdulillah baik kak,” jawabku sekenanya.
“Sambil nunggu teman-teman yang lain mungkin di antara kalian ada yang ingin berbagi pengalaman selama 2,5 bulan kuliah di ITB? Terserahlah mau itu pengalaman selama ikut kegiatan PDTK ataupun aktivitas kuliah di ITB atau pengalaman selama di Kota Bandung ini,” katanya lagi.
Kami berdua pun terdiam. Dari raut muka kami sebenarnya menunjukkan gelagat ada banyak hal yang ingin diceritakan. Tetapi karena aku baru ketiga kalinya bertemu kak Arif sedangkan temanku baru sekali ini bertemu, maka perasaan malu dan takut masih meliputi kami berdua. Tiba-tiba datang tiga orang laki-laki di depan kami.
“Assalaamu’alaykum!” sahut tiga orang laki-laki yang baru datang.
“Wa’alaykumussalam!” jawab kami bertiga.
“Alhamdulillah. Akhirnya anggota keluarga kita lengkap juga. Total personil kita berjumlah enam orang. Baik, karena kita sudah lengkap, kita segera mulai saja agenda mentoring sore ini,”kata kak Arif.
“Alhamdulillah. Sebuah nikmat luar biasa yang Allah karuniakan kepada kita sehingga kita berkesempatan menuntut ilmu di salah satu perguruan tinggi favorit di negeri ini. Pujian dan keselamatan semoga selalu tercurah kepada suri tauladan kita bersama Rasulullah Shallahu’alaihi wasallam,” katanya.
Setelah mentoring dibukan oleh kak Arif, acara pun dilanjutkan dengan sesi saling mengenal. Ternyata kami semua berasal dari daerah yang berbeda dan beragam. Ada yang berasal dari Padang. Ada yang kelahiran Papua kemudian merantau ke Yogyakarta ketika SMA. Ada yang asli Sunda yaitu Cianjur serta pulau Borneo Kalimantan. Sementara aku dan kak Arif sendiri berasal dari Surabaya dan Jakarta.
Ada saat yang menarik ketika salah seorang dari kami mengenal dirinya. Nama panggilannya sih biasa, Rudi. Akan tetapi nama lengkapnya adalah Rudy A Good Boy. Dia memiliki dua kakak. Kakak pertama bernama Happy New Year, kakak keduanya Andy Go To School, sedang ayahnya bernama Bolking. Kami semua pun terheran-heran dan tertawa mendengar perkenalan nama darinya. Nama yang terdengar aneh di telinga, nama-nama yang mungkin seharusnya hanya dipelajari di pelajaran Bahasa Inggris.
“Baik. Mari kita lanjutkan dengan tilawah,” ajak kak Arif.
Kami semua pun terbengong dengan kata tilawah, sementara kak Arif mengeluarkan buku kecil tebal. Buku itu ternyata Al-Quran. Baru pertama kali aku melihat Al-Quran kecil itu. Praktis dibawa ke mana-mana memang, lengkap dengan terjemahannya lagi. Selama ini yang aku tahu hanya Al-Quran besar tanpa terjemahan. Akupun menyentuhnya enam tahun yang lalu saat aku kelas I SMP. Dulu ketika masih sekolah dasar (SD), aku sering mengaji dengan teman-temanku. Entah kenapa setelah menginjak masa SMP, aku tidak mengaji lagi. Padahal alasannya hanya sepele saja, malu. Mengaji kan hanya untuk anak SD saja. Dan ternyata kini aku harus kembali ke masa-masa SD lagi, mengaji bersama teman-temanku.
“Oiya, tilawah itu artinya membaca. Baik, saya yang mulai dulu ya,” katanya lagi.
Akhirnya tilawah pun dimulai oleh kak Arif. Beliau membaca ayat demi ayat dengan lancar, seperti tanpa cacat sedikitpun. Tidak ada hal yang istimewa ketika aku mendengarnya. Lebih asyik dengerin In The End-nya Linkin Park, pikirku saat itu. Nampaknya tak satupun di antara kami yang tertarik mendengarkan tilawah kak Arif. Akhirnya kami semua tilawah dengan kurang lancar. Karena tak satupun di antara kami yang membawa Al-Quran, kami pun tilawah bergiliran.
“Kita baca artinya bergantian ya? Coba Yono yang pertama kali baca artinya,” kata kak Arif.
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (Allah) Yang Maha Pengasih. Yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan, dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk pada-Nya. Dan langit yang ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah mengurangi keseimbangan itu. Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya, di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan? Dia menciptkan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyala api tanpa asap. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan?” kataku membacakan arti Ar-Rahman ayat 1-16.
Ada perasaan takjub yang luar biasa dalam diriku ketika aku membaca arti ayat-ayat tersebut. Ayat-ayat itu ibarat oase di tengah padang pasir yang tandus dan kering. Dan aku pun menikmati air oase. Tenggorokanku terasa basah dan aku merasakan kesejukan yang luar biasa. Belum pernah aku merasakan sebelumnya. Dulu ketika mengaji semasa SD, aku hanya membaca Al-Quran tanpa tahu artinya. Tapi sekarang terasa beda.
Aku pun terbius oleh arti setiap ayat dari surat Ar-Rahman tersebut. Sungguh luar biasa. Apalagi ketika sampai pada ayat tentang balasan bagi orang-orang yang takut kepada Allah adalah surga yang nikmatnya tak terkira. Di dalam surga itu ada pepohon dan buah-buahan, ada dua buah mata air yang memancar. Di dalam surga juga ada permadani dari sutera yang tebal. Kemudian di dalam surga juga terdapat bidadari-bidadari yang baik-baik, jelita, dan tidak pernah disentuh oleh manusia maupun jin sebelumnya. Ternyata sebagian dari kenikmatan surga di gambarkan di dalam Al-Quran.
“Surat yang kita baca tadi adalah nikmat yang Allah berikan kepada kita. Tanda bahwa Allah begitu sayang dengan kita. Di dunia ini Allah berikan kesempatan bagi untuk kuliah di sini, Allah jadikan seorang ibu dengan tulusnya mencintai anak-anaknya, Allah jadikan ayah kita bekerja keras untuk menafkahi keluarga kita, dan masih banyak lagi bentuk kasih sayang yang lain. Itu semua barulah 1 sifat pengasih yang Allah berikan kepada kita dan itu diberikan di dunia. Sedangkan di akhirat nanti, Allah akan memberikan 99 sifat pengasih-Nya kepada orang-orang yang taat kepada-Nya ketika di dunia,”tutur kak Arif.
Sejam tidak terasa. Aku terlarut dalam kenikmatan mengaji, kenikmatan bisa bertemu dengan teman-teman, dan kenikmatan yang bermula dari keisengan untuk mencari jawaban dari pernyataan kak Arif. Dan ternyata Allah memberikan jauh lebih banyak dari yang ingin aku cari.
“Baik. Mungkin hanya ini yang bisa saya bagi buat kalian semuanya. Barangkali ada pertanyaan?” seru kak Arif.
Aku terbangun dari obat bius kak Arif yang mengungkapkan begitu luar biasanya nikmat yang Allah berikan kepada kita. Memori yang menyimpan file tujuan awal aku datang ke mentoring ISC ini kembali aku buka. Perasaan berkecamuk dalam diriku. Apakah aku harus menanyakannya atau tidak? Ingin sekali menanyakan pernyataan kak Arif 2,5 bulan yang lalu saat mentoring PDTK.
“Boleh nanya kak?” tanyaku.
“Boleh, silakan Yono,” jawabnya.
“Ini kakak tentang pertanyaan yang dulu pernah saya tanyakan ketika mentoring PDTK,” tuturku.
“Emm…yang mana ya?” tanyanya lagi.
“Itu kak. Dulu kan kakak pernah menyatakan kalau Islam itu membolehkan pacaran. Apakah itu benar?” tanyaku dengan suara semakin mengecil.
“Iya. Pacaran emang dibolehkan oleh Islam,”jawabnya.
Kami berlima pun semakin antusias mendengarkan penjelasan kak Arif.
“Tapi ada syaratnya,” katanya.
“Apa itu kak?” tanyaku sekali lagi dengan penuh heran.
“Kita boleh pacaran dengan dua syarat. Syarat pertama adalah ketika kita berdua-duaan baik itu dengan bertemu secara langsung, lewat yahoo messenger, SMS, ataupun bercakap-cakap via handphone,”tutur kak Arif.
“Kalau itu mah saya bisa kak. Itu udah biasa kok kak. Teman-temanku di kostan juga sesekali kupergoki sedang menelpon pacarnya. Aku yakin pasti mereka sering berinteraksi dengan pacar mereka meskipun aku sendiri tidak mengetahuinya,”seruku.
“Kamu yakin bisa melakukannya?”tanya kak Arif.
“Iya kak bisa,”jawabku.
“Iya kak, saya juga bisa kalau syaratnya itu,”seru temanku yang dari tadi diam mendengarkan.
“Kalian yakin Allah tidak melihat kita ketika kita pacaran misalnya. Bukankah Allah yang menciptakan kita pasti Dia melihat segala aktivitas kita?” tanyanya.
Kami semua pun terdiam dengan perasaan kecewa. Harapanku untuk pacaran sepertinya tidak didukung oleh kak Arif. Kak Arif yang tadinya kukira sepemikiran denganku ternyata tidak jauh berbeda dengan teman-temanku dulu SMA yang aktif di Rohis. Hanya saja kali ini kak Arif lebih bijak dalam menanggapi perbedaan pikiran.
“Terus syarat kedua jika kalian ingin pacaran adalah kalian harus menikah terlebih dahulu dengan pacar kalian,”kata kak Arif menjelaskan.
Kami semua tambah terdiam ketika kak Arif menambahkan syarat kedua. Ternyata Islam memang tidak membolehkan bagi pemeluknya untuk pacaran, menodai ikatan cinta kepada lawan jenisnya.
“Islam begitu menjaga pemeluknya agar tidak terpedaya oleh hawa nafsu yang banyak dimanfaatkan oleh setan. Begitu banyak teman-teman kita yang terpedaya oleh bujuk rayu setan untuk pacaran. Alhasil, banyak dari teman-teman kita itu yang tidak tahan dengan godaan setan dan dikuasai oleh hawa nafsu setan sehingga dengan mudahnya bercium, berpegangan, bahkan sampai berhubungan suami-istri. Kita berlindung kepada Allah dari hal-hal demikian,”katanya.
“Di surat Al-Israa’ ayat 32, Allah melarang kita agar tidak mendekati zina. Mengapa Allah tidak mengatakan janganlah kamu berbuat zina? Karena Allah sayang sama kita. Kebanyakan kita tidak akan sanggup jika kita mengikuti hawa nafsu. Makanya mendekat saja kita tidak boleh. Mendekat itu ya di antaranya dengan SMS-an, telpon-telponan, YM-an, bahkan lewat pacaran. Hal-hal itulah yang akan menjerumuskan kita kepada zina. Bahkan ada hadis lain yang menyebutkan bahwa zinanya mata adalah melihat yang bukan haknya, zinanya tangan adalah memegang lawan jenis yang bukan haknya, dan zinanya hati adalah mengangan-angankan lawan jenis dan hal-hal negatif lain yang menuju ke arah zina,”katanya lagi.
“Tapi kan, pacaran itu kan bagian dari proses mengenal calon istri kita juga kak? Jadi sah-sah aja kan kalau kita pacaran,”kataku dengan nada protes.
“Iya, memang kita harus mengenal calon istri dengan baik karena dia akan menjadi teman yang menemani sisa hidup kita. Islam juga mengatur bagaimana caranya kita saling berkenalan. Islam mengaturnya dengan apa yang dinamakan ta’aruf,”tutur kak Arif.
“Terus kalau benar-benar cinta gimana dong kak? Masak kita harus menahannya dalam-dalam?”tanyaku tidak mau kalah dengan penjelasan kak Arif.
“Cinta kepada lawan jenis memang fitrah yang Allah berikan kepada manusia. Dan sebagai muslim, cinta tersebut seharusnya bermuara kepada Allah. Lalu bagaimana caranya? Jika kita tertarik dengan seorang wanita dan begitu juga dengan dia, sementara kita telah mampu dari segi ilmu, mental, fisik, dan finansial maka nikahilah ia. Sementara jika belum mampu, maka banyaklah berpuasa karena puasa dapat mengekang hawa nafsu. Isilah hari-harimu untuk menyiapkan keempat faktor tadi. Janganlah berinteraksi dengan wanita tersebut khawatir kamu terjerumus ke dalam zina. Yakinlah dengan janji Allah bahwa “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)….” (An-Nuur:26). Bukan tidak mungkin kamu akan mendapatkan bidadarinya dunia,”kata kak Arif.
Aku pun terdiam. Aku tidak mampu membantah lagi. Memang demikianlah seharusnya, seorang muslim harus berserah diri kepada Allah. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia karena yang menurunkan juga adalah Allah sendiri yang memahami dengan benar karakteristik makhluk ciptaan-Nya yang bernama manusia itu.
“Gimana ada yang didiskusikan lagi? Kalau tidak ada, kita tutup dengan hamdalah, istighfar yang sesungguh-sungguhnya, dan do’a kifaratul majlis,”katanya
Sepulang dari kostan aku tidak bisa tidur karena membayangkan kejadian tadi sore. Kejadian yang membuat aku berpikir ulang untuk pacaran. Kejadian yang membuat aku sedikit mengenal bahwa Islam ternyata mengatur segalanya termasuk fitrah manusia berupa cinta kepada lawan jenis. Islam ternyata bukan sekedar pengetahuan belaka, tetapi pedoman dalam bertindak sehari-hari. Maha suci bagi-Mu ya Allah yang telah menurunkan kasih sayang di antara sesama manusia. Aku ingin sekali menikmati 99 sifat rahman-Mu.
***
Empat tahun telah berlalu. Banyak ilmu yang telah aku dapatkan di kampus Ganesha baik ilmu kuliah, ilmu organisasi, maupun ilmu diniyah. Empat tahun setelah peristiwa mentoring di sore itu, aku terus membina diri dengan ikut beberapa kegiatan dalam rangka tarbiyah islamiyah entah mentoring, kajian keislaman, ikut program menghafal Al-Quran, maupun program Bahasa Arab. Dan tepat tanggal 23 Oktober 2014, alhamdulillah aku telah menyelesaikan studi S1 Teknik Kimia ITB.
Atas kasih sayang Allah pula, pekan depan aku akan melamar seorang muslimah. Calon istriku itu baru aku kenal tiga pekan yang lalu dari Pak Habibi, guru ngajiku. Proses ta’aruf juga berlangsung cukup singkat. Kami sama-sama sepakat untuk menjadikan keluarga kami kelak adalah keluarga Qurani. Proses ta’aruf dilanjutkan dengan pengenalan keluarga dan alhamdulillah keluargaku maupun keluarga calon istriku juga sama-sama merestui.
***
Dan Alhamdulillah lamaran pun diterima oleh pihak keluarga perempuan. Kedua keluarga kami sama-sama sepakat bahwa akad nikah akan diselenggarakan sebulan lagi dengan walimah yang sederhana. Keluarga kami sepakat bahwa walimah tidak harus mewah, tetapi yang terpenting adalah bagaimana Allah meridhai pernikahan kami.
Dan sebulan telah berlalu, akad nikah pun telah dilaksanakan tadi pagi. Atas kasih sayang Allah pula, akhirnya aku bisa pacaran. Pacaran yang diridhai oleh Allah seperti syarat kedua seperti yang pernah disampaikan oleh kak Arif empat tahun yang lalu yaitu Islam membolehkan ‘pacaran’ tetapi setelah menikah. Perasaan bahagia menyelimuti kami berdua, apalagi tatkala istriku menyampaikan perasaan dari lubuk hatinya,”Abi, ummi sayang abi karena Allah,” katanya.
“Ummi, abi juga sayang ummi karena Allah,”jawabku.
Mahasuci Allah yang telah menjadikan manusia berpasang-pasangan. Akhirnya, aku sendiri merasakan bagaimana rasanya cinta yang bermuara kepada Allah seperti kak Arif dulu pernah sampaikan lewat SMSnya, “teruntuk adik-adikku yang saya sayangi karena Allah”.
Filed under: Cerpen | Leave a comment »