Mengejutkan! Wahyuningsih (19), siswi sebuah SMKN di Muaro Jambi nekat mengakhiri hidupnya pada hari Senin (26/4/2010) dengan cara menelan pestisida setelah mengetahui dirinya tidak lulus Ujian Nasional. Siswi yang mendapat nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia tertinggi di sekolahnya tersebut dinyatakan tidak lulus karena mata pelajaran Matematika hanya mendapat nilai 3,75. Sementara itu, ratusan pelajar di Maluku Utara mengamuk dan merusak sekolah mereka setelah dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional 2010. Kasus yang lain lagi, siswi SMA Pancasila, Wonogiri Virginia Indah, nekat menenggak cairan pengharum ruangan kendatipun hasil Ujian Nasional belum diumumkan secara resmi. Beruntung neneknya mengetahui usaha bunuh diri yang dilakukan siswi tersebut sehingga nyawanya berhasil diselamatkan.
Orang boleh mengatakan bahwa ketiga kasus di atas hanyalah ekses dari ujian nasional yang telah berlangsung pada bulan Maret lalu dan mungkin hanya satu atau dua kasus saja. Jumlah tersebut dibanding 1.368.083 siswa SMA/SMK yang lulus dari total peserta Ujian Nasional SMA/MA/SMK se-Indonesia yang mencapai 1.522.162 siswa mungkin tidak ada apa-apanya. Akan tetapi, apakah layak harga sebuah nyawa ditukar dengan nilai kelulusan? Belum lagi, banyak kasus-kasus kecurangan dalam Ujian Nasional yang tidak tersingkap lewat media baik kecurangan oleh pihak siswa maupun pihak sekolah yang menginginkan siswa-siswinya bisa lulus Ujian Nasional. Kasus-kasus tersebut setidaknya menjadi cerminan betapa memprihatinkannya pendidikan yang diterapkan di Indonesia.
Dari kasus-kasus di atas dapat diambil suatu pemikiran bahwa satu-satunya parameter yang menunjukkan hasil dari proses pendidikan di Indonesia adalah lulus tidaknya Ujian Nasional. Proses belajar mengajar dengan evaluasi setiap semesternya seolah-olah tiada guna karena tidak menjadi pertimbangan dalam menentukan kelulusan murid. Pemerintah justru berdalih dengan penerapan Ujian Nasional tersebut sebagai parameter penilaian lulus tidaknya murid, parameter keberhasilan lebih mudah dinilai karena ada standarisasi nasional. Pemerintah justru lebih memprioritaskan parameter keberhasilan pendidikan melalui nilai dan menganggapnya sebagai penentuan kualitas dibandingkan mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Menteri pendidikan, Muhammad Nuh, justru berpendapat bahwa kasus-kasus di atas ibarat orang sakit kolesterol yang memeriksakan diri ke laboratorium dan mendapati kolesterolnya tinggi, maka bukannya laboratoriumnya yang dibubarkan. Namun, si pasien yang sakit inilah harus diobati.
Ujian Nasional merupakan standar untuk mengetahui kualitas sebuah sekolah secara nasional. Saya kurang sependapat dengan solusi diadakannya ujian yang dilakukan oleh sekolah masing-masing. Meski angka kelulusannya tinggi, namun tidak bisa diketahui standar kualitas sekolah secara nasional.
Adakah yang salah dengan sistem pendidikan di negeri ini? Mengapa dengan sistem pendidikan yang telah dijalankan justru berbagai kriminalitas meningkat, dekadensi moral merebak, dan krisis ketenangan jiwa di kalangan orang-orang yang cukup lama mengenyam pendidikan formal. Masih hangat dalam ingatan kita, kasus korupsi Bank Century, Gayus, dan berbagai kasus lainnya. Bukankah mereka yang terlibat adalah orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi? Hal-hal tersebut merupakan indikasi terjadinya krisis pendidikan parsial. Pokok pangkal terjadinya krisis ini adalah tidak diterapkannya manhaj Islam dalam sistem pendidikan. Apabila kita telaah lebih mendalam, krisis pendidikan parsial ini terletak pada tidak berdiri tegaknya sistem pendidikan di atas dasar keimanan kepada Allah tetapi berlandaskan pada aspek material semata. Akibat menguatnya aspek material yang berlebihan, menyebabkan aspek yang lain terabaikan sehingga tidak terciptanya keseimbangan jasmani dan rohani. Alhasil, penguasaan ilmu pengetahuan terlepas dari aspek akhlak dan agama. Output pendidikan sekarangpun cenderung cendekiawan yang cerdik pandai tetapi berakhlak amoral. Lalu apa solusi terhadap permasalahan tersebut?
Sistem Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan sarana transformasi peradaban manusia yang sangat penting. Mengingat begitu pentingnya pendidikan, Islam pun tidak luput darinya. Tujuan dari proses pendidikan Islam adalah mentransformasi peradaban manusia dari segi kesempurnaan fitrah. Target perubahan tersebut jauh lebih tinggi dibanding tujuan pendidikan nasional (menciptakan manusia seutuhnya) yaitu pengakuan penghambaan kepada Allah Sang Pencipta alam semesta seperti firman Allah dalam QS Adz-Dzaariyaat ayat 56, “Aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Menurut Lilik Indriati (Majalah Hidayah, 2004), inspirator Pendidikan Islam Terpadu di Indonesia yang melahirkan lembaga-lembaga pendidikan Islam terpadu seperti Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT), dan Sekolah Tinggi Islam Terpadu (STIT), konsep penghambaan tersebut akan melahirkan tiga karakter manusia dalam ‘Sistem Pendidikan Terpadu’ yaitu pertama, manusia yang beraqidah tauhid yang akan memunculkan jiwa-jiwa yang merdeka. Manusia yang beraqidah tauhid ini dijiwai oleh dua sisi yaitu sisi keyakinan bahwa hanya Allah saja yang bisa memberi manfaat. Dari sisi pola pikir penguasa tunggal yang berhak mengatur alam semesta ini hanyalah Allah jua. Dengan demikian keterikatan seorang hamba hanya kepada Allah jua.
Kedua, manusia yang mampu mengeksplorasi bumi dengan tujuan untuk memakmurkan alam sesuai dengan fungsinya sebagai khalifah fil ardh. “….Aku hendak menjadikan khalifah di bumi…” (QS Al-Baqarah ayat 30). Dalam sistem pendidikan Islam, alam raya bagi manusia menjadi sumber pembelajaran. Pembelajaran tersebut dilakukan baik ketika seseorang mulai masuk pagar sekolah, kampus, atau tempat kerja hingga kembali ke kamar mandi dan berinteraksi dengan keluarga maupun masyarakat. Jadi, proses pendidikan berlangsung secara terus-menerus kapan saja dan di manapun mereka berada. Karakter ketiga yang dihasilkan adalah manusia yang berkepribadian kuat. Dengan kepribadian yang kuat, seseorang memiliki daya saing yang tinggi, yang nilai kemanfaatannya dibutuhkan oleh mayoritas manusia pada zamannya sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ketiga karakter manusia tersebut harus diwujudkan untuk meraih cita-cita peradaban manusia dalam Islam yaitu ya’lu wala yu’la ‘alaih (tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari peradaban manusia dalam Islam). Elemen tauhid, keterampilan mengeksplorasi dengan memakmurkan bumi, dan kepribadian kuat tersebut yang memunculkan daya saing tinggi, itulah pencerminan kesempurnaan fitrah yang melekat pada manusia unggul hasil sistem pendidikan Islam.
Bagi seorang muslim yang bergaya hidup barat, pendidikan Islam mungkin bermakna buku-buku teks yang diberikan kepada anak didik yang mengandung beberapa ayat Al-Quran, Hadits Nabi, sejarahnya, dan beberapa masalah Fiqh yang mana dengan buku-buku tersebut akan tercapai tujuan pendidikan Islam itu (Abdul Ghani Abud, 1997). Pendidikan Islam lebih dari buku-buku teks karena dalam mencapai tujuannya dituntut sederetan proses yang panjang. Yang penting dalam proses pendidikan adalah pendidik dan situasi tempat di mana proses interaksi antara pendidik dan anak didik berlangsung. Pendidikan Islam juga dapat berlangsung di mana saja baik di lingkungan keluarga yang melibatkan orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai anak didik maupun di lingkungan sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik.
Jalan Keluar Dari Masalah Pendidikan Indonesia
Transformasi peradaban manusia melalui pendidikan tidak dapat hanya berlangsung dalam seketika tetapi memerlukan proses yang panjang bahkan melibatkan beberapa generasi. Output pendidikan tidak dapat dicapai secara instan melainkan perlu kerja keras dan kerja sama dari berbagai pihak baik pemerintah, sekolah, maupun guru. Pendidikan di Indonesia akan sulit mengalami kemajuan selama Ujian Nasional masih dianggap sebagai parameter keberhasilan dalam menentukan kualitas sekolah secara nasional oleh para stakeholder pendidikan di Indonesia. Penulis berpendapat bahwa terlalu memaksakan apabila kualitas sekolah harus distandarisasi secara nasional melalui Ujian Nasional mengingat masih timpangnya tingkat pendidikan di Pulau Jawa dengan di Luar Jawa. Hal ini seharusnya disadari oleh para stakeholder pendidikan di Indonesia.
Ujian Nasional boleh saja tetap diadakan tetapi bukan sebagai parameter penentu lulus tidaknya murid dalam menempuh setiap jenjang pendidikan. Parameter kelulusan seharusnya mempertimbangkan juga proses pembelajaran yang dialami oleh murid selama menempuh setiap jenjang pendidikan baik SD, SMP, maupun SMA. Dengan demikian, seorang murid akan merasa bahwa dirinya harus selalu belajar setiap saat karena penilaian juga dilakukan setiap saat. Hal tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Roland Fryer Jr., salah satu tokok Times 100 2009 lalu. Roland mengeluarkan uang US $ 6,3 juta, hasil pengumpulan pribadinya, untuk “menyuap” 18,000 siswa Sekolah Dasar dan Menengah di 4 (empat) kota besar Amerika Serikat, yaitu Chicago, Dallas, New York dan Washington. Ia memulai penelitian ini sejak masa ajaran musim gugur tahun 2007. Pola pemberian uang suap diberikan secara berbeda-beda tata caranya, untuk para murid di setiap kota. Seluruh murid kemudian diuji melalui tes nasional (semacam UAN) untuk melihat dampak “pola penyuapan” melalui peningkatan hasil tes dari tahun ke tahun. Penelitian dilakukan kepada murid-murid yang latar belakang budayanya relatif homogen (warga kulit hitam dan keturunan hispanics), dan semua berasal dari golongan masyarakat yang tidak mampu. Sehingga seluruh murid peserta penelitian, sangat mengharapkan adanya tambahan pendapatan dari perolehan uang suap, karena mereka memang umumnya berasal dari kalangan miskin.
Hasil penelitian Roland Fryer Jr, pada keempat kota tempat penilitian dilakukan menunjukkan hasil yang sama untuk 3 kota yaitu New York dan Chicago dan berbeda untuk 2 kota yang lain yaitu Washington dan Dallas. Di New York, uang suap diberikan kepada para murid hanya bila mereka memperoleh nilai yang bagus. Ternyata pola pemberian uang suap dengan metoda seperti ini tidak ada dampaknya bagi kemajuan persentase lulusan murid pada test secara nasional. Di Chicago, uang suap diberikan kepada murid yang rajin masuk sekolah dan juga kepada mereka yang mendapatkan nilai bagus. Uang suap dengan pola seperti ini juga tidak ada dampaknya terhadap kemajuan persentase lulusan murid setelah dites secara nasional. Di Washington, pemberian uang suap secara sedikit demi sedikit untuk misalnya kerajinan murid, tindak-tanduk di sekolah dan juga berbagai keberhasilan kecil, nampaknya menunjukan dampak yang positif. Di Dallas, uang suap diberikan secara sedikit demi sedikit kepada seorang murid, bila murid tersebut mau membaca. Aritnya setiap kali murid mau membaca, maka ia diberi uang suap. Rupa-rupanya inilah yang metoda yang paling dramatis menghasilkan kesuksesan pada peningkatan hasil tes secara nasional. Karena kegiatan membaca dapat dilakukan secara bertahap dan berjenjang oleh seorang murid. Kendatipun proses pendidikan tidak dilaksanakan dengan metode suap seperti yang dilakukan oleh Ronald, setidaknya hal tersebut bias diterapkan dalam mengukur parameter keberhasilan pendidikan di Indonesia.
Filed under: Pendidikan | 1 Comment »