Eksekusi ? Why Not !

Beberapa waktu yg lalu saya berkesempatan untuk berkunjung ke negara Tetangga, Singapura. Kesan pertama saya adalah kagum dan sepanjang perjalanan terus bertanya-tanya mengapa bisa seperti ini. Kalau dibandingkan dengan Indonesia tentunya masih sangat jauh tingkat kebersihan dan kedisiplinannya.

Di sepanjang perjalanan, saya dapat dengan mudah menemui tempat sampah dan orang yg membuang sampah di tempat sampah. Beberapa kali saya menemukan dengan mudahnya orang membuang sampah di tempat sampah. Hal ini sangat berbeda dengan di negara saya. Beberapa kali saat mengendarai mobil, saya bahkan menemukan sampah terbang dari mobil.

Semua orang bahkan orang Indonesia sekalipun tentunya sepakat bahwa membuang sampah di tempat sampah adalah hal yg baik sementara membuang sampah di jalan adalah tidak baik. Namun, masih banyak yg enggan melakukan kebaikan dan justru melakukan kejelekan. Lalu mengapa ?

Pengaruh penjajahan
Dalam psikologi manusia, setiap hal yg dipikirkan akan menjadi tindakan. Setiap tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Setiap kebiasaan menahun akan menjadi karakter. Karakter beraneka macam orang yang berkumpul dalam suatu masyarakat atau negara akan menjadi budaya. Yah, nampaknya hal ini sudah menjadi budaya bangsa Indonesia.

350 tahun dijajah oleh Belanda nampaknya sangat mempengaruhi pola pikir dan budaya bangsa Indonesia. Lalu apa hubungannya antara penjajahan dengan budaya disiplin, bersih, tertib, & rapi ? Dalam kondisi terjajah, pendahulu kita terbiasa diatur. Dikasih makan seadanya bahkan jarang makan, bahkan minum pun terbatas, hidup penuh tekanan, alhasil pola pikir kurang berkembang. Jangankan memikirkan hidup bersih, rapi, disiplin, untuk makan dan minum pun masih susah. Berbeda dengan penjajah, penjajah perlu displin, rapi, bersih, dan teratur jika ingin menjajah. Bagaimana mau menjajah dan mengatur yg dijajah jika tidak teratur.

Bukankah Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945 ? Betul, Indonesia memang sudah merdeka, tetapi kebiasaan yg turun-temurun selama 350 tahun sudah membudaya tidak akan bisa hilang seketika. Memang ada para pahlawan seperti Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, KH Ahmad Dahlan, KH Wahid Hasyim yang menginspirasi perubahan, tetapi kita perlu ingat bahwa mereka adalah inspirator dalam melawan penjajahan.

Pendidikan Ujung Tombak Perbaikan
Lantas tidak adakah cara untuk memperbaiki keadaan tersebut ? Tentu saja ada, yaitu melalui pendidikan baik pendidikan sekolah maupun keluarga. Keduanya memiliki pengaruh siginifikan. Agar nilai-nilai kebaikan bisa tereksekusi dalam amal nyata, perlu prakte keteladanan. Praktek keteladanan merupakan bentuk pendidikan yg paling efektif selain menanamkan teori-teori. Idealnya porsi teori dan praktek harus seimbang 50%:50%, bahkan praktek dan eksekusi nyata malah lebih banyak dibutuhkan saat seseorang melalui jenjang pendidikan formal. Lingkungan kerja akan cenderung melihat eksekusi nyata dan hasilnya dibandingkan teori-teorinya.

Sayangnya porsi pendidikan formal kita (selain kejuruan) masih menitik beratkan pada teori. Alhasil ketika dihadapkan pada masalah-masalah dan tantangan di kehidupan pekerjaan, tidak bisa terselesaikan dengan baik. Sekolah lebih sering mengajari tentang apa, bukan bagaimana. Sekolah lebih banyak mengajari untuk berpikir daripada melakukan. Sekolah mengajarkan teori tentang pencairan atau penyubliman, tetapi tidak mengajarkan praktek langsung pencairan itu seperti apa dan penyubliman itu seperti apa. Celakanya ini diterapkan selama 12 tahun sejak SD, SMP, & SMA sehingga akhirnya menjadi karakter dan budaya. Akhirnya yg sudah tahu baik tetapi tidak dilakukan, yang jelas-jelas tidak baik malah dilakukan.

Pendidikan Keluarga Menjadi Harapan
Bagi penulis yg bukan seorang guru formal ataupun berkecimpung di Diknas, tidak banyak yg bisa dilakukan selain menyeimbangkan antara pendidikan teori dan praktek dengan memilihkan sekolah yg sevisi maupun menanamkan dalam pendidikan anak di rumah. Pastinya sudah ada sekolah yg sadar dengan kenyataan bahwa nyatanya seorang anak kelak akan banyak dihadapkan dengan bagaimana bukan apa sehingga mulai diberikan porsi lebih dengan praktek dan berinteraksi dengan alam.

Keluarga perlu mengenalkan kepada anak sejak dini dengan praktek dan dunia nyata. Apalagi tantangan jaman now juga sangat besar dengan dunia digitalnya. Jangankan mengenalkan ilmu eksekusi pada anak, para orang tua sendiri pun tersihir oleh ilmu teori digital melalui youtube atau google alih-alih untuk mengkaji langsung dari guru maupun alam.

Keluarga hendaknya mengajarkan teori dan praktek secara seimbang. Ketika mengenalkan jenis-jenis binatang di youtube, hendaknya diimbangi dengan mengenalkan praktek pada anak. Ketika menjelaskan bahwa membuang sampah di tempat sampah itu baik, orang tua pun perlu mencontohkan dan menyuruh secara langsung untuk membuang sampah di TPS maupun tong sampah. Ketika orang tua mengajarkan bahwa main gadget terlalu sering itu tidak baik maka ada batasan jam gadget di rumah 🙂

Memang tidak mudah merubah Indonesia menjadi lebih baik. Indonesia memang tidak perlu diubah. Indonesia yg berubah menjadi lebih baik hanyalah akibat. Sebabnya adalah merubah diri kita yang jauh lebih penting dan sangat perlu diprioritaskan. Niscaya orang-orang di sekitar kita akan mengikuti.

#30harinonstopwriting
#pendidikan

PERAN XL DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU DI DAERAH PEDALAMAN

Dentuman bom mengguncang dua pelosok kota negeri Sakura. Setelah bom atom dijatuhkan oleh tentara sekutu hingga membuat kedua kota itu luluh lantak, Sang Kaisar Jepang, Hirohito, dengan penuh kekhawatiran langsung bertanya pada pusat informasi. Tahukah Anda apa yang dia tanyakan? Ternyata Sang Kaisar bukan menanyakan berapa jumlah tentara, tank, kapal tempur, pesawat tempur yang ada atau jumlah daerah kekuasaan Jepang yang masih tersisa. Yang dia tanyakan adalah berapa jumlah guru yang masih hidup?

Luar biasa! Begitu fahamnya pemahaman Sang Kaisar tentang arti penting seorang guru. Sang Kaisar tidak putus asa negerinya luluh lantak karena banyak guru yang masih hidup. Alhasil, Jepang kembali bangkit dari keterpurukan dan tidak lama kemudian menjadi negara maju dengan mengoptimalkan peran para guru.

Arti penting guru

Guru menjadi ujung tombak dalam proses pendidikan di sekolah. Proses transfer ilmu dilakukan dengan keberadaan seorang guru. Selain itu, guru juga berperan dalam memberi semangat kepada anak didiknya untuk terus belajar. Kegiatan belajar mengajar dapat diselenggarakan dengan keberadaan seorang guru kendatipun tidak ada gedung sekolah. Akan tetapi, kegiatan belajar mengajar tidak akan terselenggara tanpa seorang guru kendatipun tersedia gedung sekolah yang megah. Hal inilah yang menjadi landasan pikiran Ho Chi Min (Bapak Pendidikan Vietnam) bahwa No Teacher, No Education. No Education, No  Economic and Social Development.

Begitu besarnya peran seorang guru, tanpanya proses pembelajaran bangsa tidak akan dapat berjalan. Proses pembentukan karakter individu sebagai bahan dasar sebuah bangsa juga dilakukan oleh seorang guru. Guru juga menjadi penyambung sejarah perjuangan bangsa. Perjuangan heroik para pejuang bangsa dapat diterima generasi muda bangsa salah satunya lewat pendidikan oleh guru di sekolah.

Guru di Daerah Pedalaman

Banyak sekolah memiliki guru yang selalu bersemangat mengajar bahkan tidak pernah absen mengajar serta jumlahnya banyak. Hal tersebut hanya terdapat di daerah perkotaan dan sekitarnya dengan akses informasi dan transportasi yang relatif mudah. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku di daerah pedalaman. Contohnya seperti yang terjadi di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Tiga puluh (30) dari 338 sekolah dasar (SD) di kabupaten tersebut hanya mengandalkan seorang guru tiap sekolahnya. Seorang guru tersebut merangkap sebagai kepala sekolah, guru kelas, dan guru mata pelajaran. Sekolah tersebut terpaksa meminta bantuan para guru yang telah pensiun untuk mengajar kembali di sekolah-sekolah tersebut. Fenomena tersebut juga terjadi di SD Negeri di wilayah pedalaman dusun Gun Jemak di daerah tapal batas Kalimantan Barat-Sarawak (Malaysia). Sekolah tersebut hanya memiliki seorang guru yang bernama Joni. Joni sempat 3,5 tahun mengajar murid dari kelas satu sampai enam sendirian saja, tanpa ada guru lain yang membantunya. Ia mengajar murid-murinya dengan cara menggabungkan enam kelas ke dalam tiga ruang kelas. Untuk kelas satu digabung dengan kelas dua, kelas tiga digabung dengan kelas empat, dan kelas lima dengan kelas enam.

Fenomena lain juga terjadi di SD Negeri 63 Toho Paloh, Desa Rasan, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.  Sekolah ini sering libur karena tidak ada satupun guru yang datang mengajar. Padahal, menurut catatan yang ada di sekolah itu, ada enam guru yang bertugas di sana. Dua di antaranya pegawai negeri (PNS), sedangkan empat lainnya sebagai guru honorer. Guru-guru yang mengajar di Toho Paloh itu umumnya tinggal di Ngabang, ibu kota Kabupaten Landak. Awalnya ada guru PNS yang mau tinggal di dekat sekolah, tetapi kemudian mereka memilih tinggal di Ngabang sehingga pelajaran menjadi tidak rutin.

Ada beberapa persoalan yang menyebabkan berbagai persoalan di atas. Persoalan tersebut disebabkan karena faktor eksternal maupun internal. Factor eksternal yang banyak dikeluhkan oleh guru yang enggan mengajar antara lain lokasi terpencil dengan jalan yang masih belum beraspal. Tidak jarang jika musim penghujan banyak dari guru yang jatuh dari sepeda motor karena jalan yang teramat sulit dan licin. Sebagian besar SD yang ada di pedalaman terletak di daerah terpencil yang sangat sulit dicapai dengan minimnya akses menuju sekolah dan tidak adanya sarana transportasi yang dapat mencapai sekolah. Sebagai contoh adalah SDN 63 Toho Paloh. Toho Paloh dan ibu kota Ngabang berjarak sekitar 80 km. Waktu tempuh yang diperlukan sekitar tiga jam karena kondisi jalan buruk. Selepas jalan aspal dan berbatu pada 15 kilometer pertama dari Ngabang, jalan tanah dan berlumpur adalah satu-satunya akses menuju Toho Paloh dan beberapa dusun lain di Desa Rasan. Contoh lain adalah SDN 2 Sendang yang terletak di dusun ngantup Desa Nyawangan, Kecamatan Sendang, Tulungagung, Jawa Timur. SD ini terletak di daerah perkebunan karet dan terletak di puncak gunung. Untuk mencapai SD ini harus melewati jalan yang tajam dan berkelok-kelok dengan jarak tempuh sekitar 35 km dari wilayah Kota Tulungagung. Sementara itu, SD 16 di pedalaman Dusun Gun Jemak, Kabupaten Sanggau, Kalbar hanya bisa ditempuh menggunakan alat transportasi sungai seperti speed boat atau sampan, yang waktu tempuhnya delapan jam dari ibu kota Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau.

Sementara itu, faktor internal berasal dari guru itu sendiri. Banyak tenaga guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang enggan mengabdikan dirinya di daerah pedalaman. Hal itu disebabkan kebanyakan guru sudah kehilangan idealismenya sebagai seorang guru sejati. Kalau guru memiliki idealism tinggi, tanggung jawab dan komitmen sebagai seorang guru pasti akan berupaya semaksimal mungkin memajukan siswanya. Seorang guru punya idealism untuk memikirkan persoalan pendidikan yang selama ini menjadi suatu permasalahan serius di Indonesia. Guru-guru yang sudah diangkat menjadi PNS tinggal di kota dan jarang sekali mengajar dengan alasan akses jalan yang sulit dan minimnya transportasi untuk menjangkau daerah pedalaman tersebut.

Peran XL Dalam Meningkatkan Kualitas Guru di Daerah Pedalaman

Agar proses pendidikan di daerah dapat tetap berlangsung, kualitas guru di daerah pedalaman harus ditingkatkan. Kualitas guru tersebut meliputi kualitas pendidikan guru, kualitas (dan kuantitas) pendapatan, dan kualitas pengabdian guru. Hal ini bisa menjadi salah satu program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan seperti XL baik oleh perusahaan secara mandiri maupun bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Dengan kepedulian XL terhadap pendidikan di daerah pedalaman, diharapkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga terpanggil hatinya dan lebih serius lagi dalam mengemban amanah UUD’45 adalah memenuhi hak setiap warganya untuk mendapatkan pendidikan secara layak.

Hal yang bisa dilakukan antara lain dengan memberikan penghargaaan kepada guru-guru yang telah mengabdi di daerah terpencil atau pedalaman. Penghargaan ini diberikan dalam rangka memberikan semangat kepada guru-guru yang mengajar di daerah pedalaman. Mungkin salah satu kegiatan XL Award pada tahun-tahun mendatang adalah berupa penghargaan atas perjuangan dan pengorbanan guru-guru yang mengajar di daerah pedalaman. Secara psikologi, pemberian penghargaan ini akan memacu guru-guru di daerah pedalaman untuk semangat dalam mengajar. Semangat ini penting mengingat hal tersebut akan menular kepada anak didiknya. Hal ini juga sesuai dengan fitrah manusia yang pada dasarnya adalah menyukai penghargaan dan perhatian.

Selain itu, XL mungkin dapat membuat program percontohan dengan memfokuskan pada satu sekolah di suatu daerah pedalaman tertentu seperti Sekolah XL. Sekolah tersebut dilengkapi dengan fasilitas yang mempernudah guru dan murid dalam mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Para guru juga diberikan pelatihan-pelatihan seperti motivasi mengajar dengan mengundang trainer-trainer. Dengan pelatihan ini diharapkan guru-guru menjadi lebih serius dalam mengemban amanah sebagai pendidik bangsa. Sekolah tersebut juga dilengkapi dengan rumah untuk guru sehingga mereka tidak perlu pulang pergi menempuh jarak puluhan kilometer. Sekolah XL tersebut juga harus memiliki satu orang guru atau kepala sekolah sebagai pelopor dan selalu semangat dalam mengajak guru-guru yang lain dalam mendidik generasi penerus bangsa.

Selama ini, sedikit sekali calon guru yang mau mengajar di daerah pedalaman karena gaji yang tidak mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari. Seikhlas apapun seorang guru dalam mengajar bahkan tidak mendapat balasan, mereka juga membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam Sekolah XL tersebut, guru diberikan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bersama keluarganya.

 

Referensi :

http://blog.unnes.ac.id/ikaluck

http://pendakigunung.wordpress.com

Saepudin, Aep. 2007. Guruku, Jangan Dipolitisi! Bandung: National Leadership Youth Forum 2007, Masjid Salman ITB.

Gaza Akan WIsuda 12 Ribu Penghafal Al-Quran

REPUBLIKA.CO.ID,GAZA–Hampir 12 ribu penghafal alquran di Jalur Gaza, setelah mereka menyelesaikan tahap akhir pemantapan selama 60 hari berturut-turut. Mereka tersebar pada ratusan pusat penghafal tahfidz Al-Qur’an di Gaza. Termasuk kamp-kamp pengungsian yang dijadikan halaqah-halaqah hifdzil Qur’an.

Mereka menamakan halaqah-halaqah tersebut “Generasi Qur’ani Untuk Al-Aqsha” yang berada dibawah pembiayaan pemerintah Palestina pimpinan Ismael Haneya dan langsung dibawah pengawasan departemen waqaf dan urusan agama Palestina.

Halaqah-halaqah ini mendapat sambutan luar biasa dari warga. Mereka berlomba-lomba mendaftarkan anak-anaknya pada halaqah tersebut, hingga banyak diantara para perserta yang ditolak, karena tempatnya sudah tak menampung lagi.

Sukses Besar
Sementara itu, Dr. Thalib Abu Syaer, menteri waqaf dan urusan agama Palestina mengatakan, kami sedang berupaya mewisuda sejumlah penghafal Alqur’an, setelah sebelumnya sukses selama beberapa tahun terakhir dan tentu kami merasa bangga.

Dalam wawancaranya dengan pusat infopalestina, menteri waqaf mengatakan, jauh-jauh hari kami sudah merencanakan dan menyusun perangkat-perangkat yang diperlukan dalam program kamp qur’ani. Ia berharap programnya ini bisa sukses.

Ia menyebutkan, ada sekitar 870 penghafal Alqur’an yang tersebar di 272 pusat tahfidz Alqur’an di Jalur Gaza (Rafah, Khanyunis, Gaza Tengah, Gaza, Gaza Utara).

Ia mengisyaratkan, pihaknya sedang mempersiapkan perhelatan akbar dan spektakuler untuk memberkan penghargaan pada para penghafal Al-Qur’an. Ia mengungkapkan, bangga atas prestasi para penghafal tersebut. Ini adalah kebiasaan yang baik yang digalakan pemerintah Palestina melalui menteru waqaf dan urusan agama secara khusus.

Peningkatan kemampuan dalam membaca dan menghafal
Di sisi lain, Dr. Abdullah Abu Jarbu deputi departemen waqaf mengatakan, proyek hifdzil Alqur’an yang dilakukan departemen waqaf ini bertujuan secara langsung mencetak para penghafal Alqur’an, disamping meningkatkan bacaan dan mereka, melalui penghafalan Alqur’an.

Dr. Abu Jarbu’ menjelaskan, ada sejumlah mahasiswa yang mempunyai predikat al-hafidz. Pihaknya sangat memperhatikan masalah ini dengan memunculkan bakat dan kemampuan mereka dalam menghafal Alqur’an. Mereka dipersiapkan untuk mengikuti kamp musabaqah tilawatil alqur’an regional dan internasional yang dapat mengangkat derajat Palestina di dunia internasional.

Proyek Besar
Di pihak lain, Diyab Radhi, seorang warga Palestina di Gaza sangat menghargai langkah yang dilakukan departemen waqaf dan urusan agama. Ia mengucapkan terima kasih pada pemerintah dalam hal ini, yang telah mengadakan program kamp hifdzil Alqur’an.

Ia menambahkan, kami telah menunggu dengan shabar musim panas tiba untuk memulai proyek besar ini dan agar kita bisa membentuk anak-anak kita dan selanjutnya kita membantu mereka untuk menghafal alqur’an dalam waktu tertentu.

Red: Krisman Purwoko
Sumber: info palestina

Quo Vadis Pendidikan Indonesia?

Mengejutkan! Wahyuningsih (19), siswi sebuah SMKN di Muaro Jambi nekat mengakhiri hidupnya pada hari Senin (26/4/2010) dengan cara menelan pestisida setelah mengetahui dirinya tidak lulus Ujian Nasional. Siswi yang mendapat nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia tertinggi di sekolahnya tersebut dinyatakan tidak lulus karena mata pelajaran Matematika hanya mendapat nilai 3,75. Sementara itu, ratusan pelajar di Maluku Utara mengamuk dan merusak sekolah mereka setelah dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional 2010. Kasus yang lain lagi, siswi SMA Pancasila, Wonogiri Virginia Indah, nekat menenggak cairan pengharum ruangan kendatipun hasil Ujian Nasional belum diumumkan secara resmi. Beruntung neneknya mengetahui usaha bunuh diri yang dilakukan siswi tersebut sehingga nyawanya berhasil diselamatkan.

Orang boleh mengatakan bahwa ketiga kasus di atas hanyalah ekses dari ujian nasional yang telah berlangsung pada bulan Maret lalu dan mungkin hanya satu atau dua kasus saja. Jumlah tersebut dibanding 1.368.083 siswa SMA/SMK yang lulus dari total peserta Ujian Nasional SMA/MA/SMK se-Indonesia yang mencapai 1.522.162 siswa mungkin tidak ada apa-apanya. Akan tetapi, apakah layak harga sebuah nyawa ditukar dengan nilai kelulusan? Belum lagi, banyak kasus-kasus kecurangan dalam Ujian Nasional yang tidak tersingkap lewat media baik kecurangan oleh pihak siswa maupun pihak sekolah yang menginginkan siswa-siswinya bisa lulus Ujian Nasional. Kasus-kasus tersebut setidaknya menjadi cerminan betapa memprihatinkannya pendidikan yang diterapkan di Indonesia.

Dari kasus-kasus di atas dapat diambil suatu pemikiran bahwa satu-satunya parameter yang menunjukkan hasil dari proses pendidikan di Indonesia adalah lulus tidaknya Ujian Nasional. Proses belajar mengajar dengan evaluasi setiap semesternya seolah-olah tiada guna karena tidak menjadi pertimbangan dalam menentukan kelulusan murid. Pemerintah justru berdalih dengan penerapan Ujian Nasional tersebut sebagai parameter penilaian lulus tidaknya murid, parameter keberhasilan lebih mudah dinilai karena ada standarisasi nasional. Pemerintah justru lebih memprioritaskan parameter keberhasilan pendidikan melalui nilai dan menganggapnya sebagai penentuan kualitas dibandingkan mencetak sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Menteri pendidikan, Muhammad Nuh, justru berpendapat bahwa kasus-kasus di atas ibarat orang sakit kolesterol yang memeriksakan diri ke laboratorium dan mendapati kolesterolnya tinggi, maka bukannya laboratoriumnya yang dibubarkan. Namun, si pasien yang sakit inilah harus diobati.
Ujian Nasional merupakan standar untuk mengetahui kualitas sebuah sekolah secara nasional. Saya kurang sependapat dengan solusi diadakannya ujian yang dilakukan oleh sekolah masing-masing. Meski angka kelulusannya tinggi, namun tidak bisa diketahui standar kualitas sekolah secara nasional.

Adakah yang salah dengan sistem pendidikan di negeri ini? Mengapa dengan sistem pendidikan yang telah dijalankan justru berbagai kriminalitas meningkat, dekadensi moral merebak, dan krisis ketenangan jiwa di kalangan orang-orang yang cukup lama mengenyam pendidikan formal. Masih hangat dalam ingatan kita, kasus korupsi Bank Century, Gayus, dan berbagai kasus lainnya. Bukankah mereka yang terlibat adalah orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi? Hal-hal tersebut merupakan indikasi terjadinya krisis pendidikan parsial. Pokok pangkal terjadinya krisis ini adalah tidak diterapkannya manhaj Islam dalam sistem pendidikan. Apabila kita telaah lebih mendalam, krisis pendidikan parsial ini terletak pada tidak berdiri tegaknya sistem pendidikan di atas dasar keimanan kepada Allah tetapi berlandaskan pada aspek material semata. Akibat menguatnya aspek material yang berlebihan, menyebabkan aspek yang lain terabaikan sehingga tidak terciptanya keseimbangan jasmani dan rohani. Alhasil, penguasaan ilmu pengetahuan terlepas dari aspek akhlak dan agama. Output pendidikan sekarangpun cenderung cendekiawan yang cerdik pandai tetapi berakhlak amoral. Lalu apa solusi terhadap permasalahan tersebut?

Sistem Pendidikan Islam

Pendidikan merupakan sarana transformasi peradaban manusia yang sangat penting. Mengingat begitu pentingnya pendidikan, Islam pun tidak luput darinya. Tujuan dari proses pendidikan Islam adalah mentransformasi peradaban manusia dari segi kesempurnaan fitrah. Target perubahan tersebut jauh lebih tinggi dibanding tujuan pendidikan nasional (menciptakan manusia seutuhnya) yaitu pengakuan penghambaan kepada Allah Sang Pencipta alam semesta seperti firman Allah dalam QS Adz-Dzaariyaat ayat 56, “Aku tidak menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

Menurut Lilik Indriati (Majalah Hidayah, 2004), inspirator Pendidikan Islam Terpadu di Indonesia yang melahirkan lembaga-lembaga pendidikan Islam terpadu seperti Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu (TKIT), Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT), dan Sekolah Tinggi Islam Terpadu (STIT), konsep penghambaan tersebut akan melahirkan tiga karakter manusia dalam ‘Sistem Pendidikan Terpadu’ yaitu pertama, manusia yang beraqidah tauhid yang akan memunculkan jiwa-jiwa yang merdeka. Manusia yang beraqidah tauhid ini dijiwai oleh dua sisi yaitu sisi keyakinan bahwa hanya Allah saja yang bisa memberi manfaat. Dari sisi pola pikir penguasa tunggal yang  berhak mengatur alam semesta ini hanyalah Allah jua. Dengan demikian keterikatan seorang hamba hanya kepada Allah jua.

Kedua, manusia yang mampu mengeksplorasi bumi dengan tujuan untuk memakmurkan alam sesuai dengan fungsinya sebagai khalifah fil ardh. “….Aku hendak menjadikan khalifah di bumi…” (QS Al-Baqarah ayat 30). Dalam sistem pendidikan Islam, alam raya bagi manusia menjadi sumber pembelajaran. Pembelajaran tersebut dilakukan baik ketika seseorang mulai masuk pagar sekolah, kampus, atau tempat kerja hingga kembali ke kamar mandi dan berinteraksi dengan keluarga maupun masyarakat. Jadi, proses pendidikan berlangsung secara terus-menerus kapan saja dan di manapun mereka berada. Karakter ketiga yang dihasilkan adalah manusia yang berkepribadian kuat. Dengan kepribadian yang kuat, seseorang memiliki daya saing yang tinggi, yang nilai kemanfaatannya dibutuhkan oleh mayoritas manusia pada zamannya sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ketiga karakter manusia tersebut harus diwujudkan untuk meraih cita-cita peradaban manusia dalam Islam yaitu ya’lu wala yu’la ‘alaih (tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari peradaban manusia dalam Islam). Elemen tauhid, keterampilan mengeksplorasi dengan memakmurkan bumi, dan kepribadian kuat tersebut yang memunculkan daya saing tinggi, itulah pencerminan kesempurnaan fitrah yang melekat pada manusia unggul hasil sistem pendidikan Islam.

Bagi seorang muslim yang bergaya hidup barat, pendidikan Islam mungkin bermakna buku-buku teks yang diberikan kepada anak didik yang mengandung beberapa ayat Al-Quran, Hadits Nabi, sejarahnya, dan beberapa masalah Fiqh yang mana dengan buku-buku tersebut akan tercapai tujuan pendidikan Islam itu (Abdul Ghani Abud, 1997). Pendidikan Islam lebih dari buku-buku teks karena dalam mencapai tujuannya dituntut sederetan proses yang panjang. Yang penting dalam proses pendidikan adalah pendidik dan situasi tempat di mana proses interaksi antara pendidik dan anak didik berlangsung. Pendidikan Islam juga dapat berlangsung di mana saja baik di lingkungan keluarga yang melibatkan orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai anak didik maupun di lingkungan sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan murid sebagai anak didik.

Jalan Keluar Dari Masalah Pendidikan Indonesia

Transformasi peradaban manusia melalui pendidikan tidak dapat hanya berlangsung dalam seketika tetapi memerlukan proses yang panjang bahkan melibatkan beberapa generasi. Output pendidikan tidak dapat dicapai secara instan melainkan perlu kerja keras dan kerja sama dari berbagai pihak baik pemerintah, sekolah, maupun guru. Pendidikan di Indonesia akan sulit mengalami kemajuan selama Ujian Nasional masih dianggap sebagai parameter keberhasilan dalam menentukan kualitas sekolah secara nasional oleh para stakeholder pendidikan di Indonesia. Penulis berpendapat bahwa terlalu memaksakan apabila kualitas sekolah harus distandarisasi secara nasional melalui Ujian Nasional mengingat masih timpangnya tingkat pendidikan di Pulau Jawa dengan di Luar Jawa. Hal ini seharusnya disadari oleh para stakeholder pendidikan di Indonesia.

Ujian Nasional boleh saja tetap diadakan tetapi bukan sebagai parameter penentu lulus tidaknya murid dalam menempuh setiap jenjang pendidikan. Parameter kelulusan seharusnya mempertimbangkan juga proses pembelajaran yang dialami oleh murid selama menempuh setiap jenjang pendidikan baik SD, SMP, maupun SMA. Dengan demikian, seorang murid akan merasa bahwa dirinya harus selalu belajar setiap saat karena penilaian juga dilakukan setiap saat. Hal tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Roland Fryer Jr., salah satu tokok Times 100 2009 lalu. Roland mengeluarkan uang US $ 6,3 juta, hasil pengumpulan pribadinya, untuk “menyuap” 18,000 siswa Sekolah Dasar dan Menengah di 4 (empat) kota besar  Amerika Serikat, yaitu Chicago, Dallas, New York dan Washington. Ia memulai penelitian ini sejak masa ajaran musim gugur tahun 2007. Pola pemberian uang suap diberikan secara berbeda-beda tata caranya, untuk para murid di setiap kota. Seluruh murid kemudian diuji melalui tes nasional (semacam UAN) untuk melihat dampak “pola penyuapan” melalui peningkatan hasil tes dari tahun ke tahun. Penelitian dilakukan kepada murid-murid yang latar belakang budayanya relatif homogen (warga kulit hitam dan keturunan hispanics), dan semua berasal dari golongan masyarakat yang tidak mampu. Sehingga seluruh murid peserta penelitian, sangat mengharapkan adanya tambahan pendapatan dari perolehan uang suap, karena mereka memang umumnya berasal dari kalangan miskin.

Hasil penelitian Roland Fryer Jr, pada keempat kota tempat penilitian dilakukan menunjukkan hasil yang sama untuk 3 kota yaitu New York dan Chicago dan berbeda untuk 2 kota yang lain yaitu Washington dan Dallas. Di New York, uang suap diberikan kepada para murid hanya bila mereka memperoleh nilai yang bagus. Ternyata pola pemberian uang suap dengan metoda seperti ini tidak ada dampaknya bagi kemajuan persentase lulusan murid pada test secara nasional. Di Chicago, uang suap diberikan kepada murid yang rajin masuk sekolah dan juga kepada mereka yang mendapatkan nilai bagus. Uang suap dengan pola seperti ini juga tidak ada dampaknya terhadap kemajuan persentase lulusan murid setelah dites secara nasional. Di Washington, pemberian uang suap secara sedikit demi sedikit untuk misalnya kerajinan murid, tindak-tanduk di sekolah dan juga berbagai keberhasilan kecil, nampaknya menunjukan dampak yang positif. Di Dallas, uang suap diberikan secara sedikit demi sedikit kepada seorang murid, bila murid tersebut mau membaca. Aritnya setiap kali murid mau membaca, maka ia diberi uang suap. Rupa-rupanya inilah yang metoda yang paling dramatis menghasilkan kesuksesan pada peningkatan hasil tes secara nasional. Karena kegiatan membaca dapat dilakukan secara bertahap dan berjenjang oleh seorang murid. Kendatipun proses pendidikan tidak dilaksanakan dengan metode suap seperti yang dilakukan oleh Ronald, setidaknya hal tersebut bias diterapkan dalam mengukur parameter keberhasilan pendidikan di Indonesia.